Organisasi yang baik itu memiliki sistem kaderisasi yang mapan. Generasi demi generasi pasti akan datang dan pergi sebagai kemestian historis. Ini merupakan sebuah hal yang tidak mungkin untuk dihindari. Justru merupakan persoalan manakala tidak ada—atau ada keterlambatan—pergantian kepemimpinan karena menunjukkan adanya kegagalan kaderisasi.
Kaderisasi bukan semata pergantian antar kader pada
setiap zaman. Ia seharusnya menjadi sistem yang bisa mengakomodir kebutuhan.
Juga bisa menghasilkan kader terbaik sebagaimana yang diharapkan.
Sistem
pengkaderan, sebagai konsekuensinya, tidak
statis. Pada level epistemologis, ia harus mapan dan relatif stabil. Namun pada
level penerjemahannya, ia dinamis selaras dengan konteks yang terus berkembang.
Sistem yang mapan berpotensi untuk menghasilkan kader-kader yang militan dan berkualitas.
Militan—atau fanatik—juga memiliki kelemahan. Hardiman
(2021) menjelaskan bahwa fanatik itu ditandai dengan kegalakan, ketertutupan, dan
kepongahan yang bukan berasal dari keteguhan hati tetapi dari upaya menutupi
kelemahan diri. Ia merupakan bentuk “kompensasi atas rasa inferioritas”. Jadi
sesungguhnya fanatik itu problematik, khususnya
dalam merespon dinamika perkembangan yang semakin hari semakin kompleks.
Berkualitas tapi kurang atau bahkan tidak militan menjadi
persoalan karena manusia jenis ini bisa diibaratkan bunglon. Ia bisa loncat ke
mana yang diinginkan sepanjang menguntungkan dirinya. Organisasi bukan
tempat untuk melabuhkan ideologi dalam diri tetapi sebagai sarana untuk mencari
kepentingan pragmatis personal.
Aspek yang penting untuk ditanamkan pada setiap kader
adalah integritas. Ada tiga unsur integritas, yaitu pengetahuan mengenai diri
sendiri, keterusterangan, dan kedewasaan (Balthasar Kambuaya: 2020). Ketiga
unsur menyatu menjadi bagian tidak terpisah dari ke-diri-an.
Kaderisasi, dalam kerangka ini, penting untuk dirumuskan
secara konseptual dan dijalankan hasil rumusannya secara maksimal. Tujuannya adalah
agar hasil kaderisasi bisa terlihat secara nyata.
Sekarang ini zaman digital dengan tantangan yang kompleks.
Zaman ini memiliki dampak yang sangat luas. Bukan hanya shifting dalam
banyak bidang tetapi juga membawa implikasi sosiologis, psikologis, ekonomi,
dan berbagai bidang kehidupan lainnya (Renald Kasali: 2018).
Sejalan dengan dinamika yang ada maka perlu untuk dipikirkan
sistem kaderisasi yang mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif. Ini
penting dilakukan agar ada sistem kaderisasi yang sejalan dengan kebutuhan
zaman. Tanpa pembacaan realitas dengan pendekatan multidisipliner, kaderisasi
akan menjadi aktivitas rutin yang semakin hari semakin kehilangan konteks dan
relevansi.
Pada titik inilah maka kerja
intelektual perlu dioptimalkan. Intelektual
itu memiliki beberapa karakteristik. Pertama, menekankan kerja pikiran. Kedua,
kritis terhadap keadaan sekitar. Ketiga, pemikirannya erat
hubungannya dengan aspek immaterial, sekalipun soal-soal itu merupakan
eksistensi dari kehidupan material. Keempat, melihat segala sesuatu
dalam perspektif yang lebih luas. Kelima, memahami fenomena kehidupan
dan pemikiran dalam konteks interrelasi dan totalitas. Keenam, committed terhadap
kesejahteraan masyarakatnya. Dan ketujuh, aspek yang dikejar adalah
soal-soal yang transenden (Faisal Ismail: 2017, 128-129).
Sebagai penutup catatan ini, saya ingin mengutip pendapat
Wahyuddin Halim (2021: 155) yang menyatakan bahwa transformasi itu bukan
sesuatu yang instan. Transformasi membutuhkan
proses, pembiasaan, rutinisasi, dan penggemblengan. Di sinilah makna penting
kaderisasi. Tidak ada kader yang lahir secara instan. Kader itu perlu
berproses. Juga perlu integritas agar fungsi transformasi sosial bisa berjalan
secara maksimal.
Tulungagung, 6 Agustus 2025
Daftar Bacaan
Balthasar
Kambuaya, Menembus Badai Kepemimpinan, Makassar: Sahmedia, 2020.
F. Budi Hardiman, Aku
Klik Maka Aku Ada, Manusia dalam Revolusi Digital, Yogyakarta: Kanisius,
2021.
Faisal Ismail, Islam
yang Produktif, Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Hisanori
Kato, Agama dan Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat, 2002.
Nur Wahyu Andriono, Inovasi dan Reformulasi Kaderisasi
PMII Berbasis Pendidikan, Tangerang: CV Anagraf Indonesia, 2024.
Rhenald Kasali, The Great Shifting, Jakarta:
Gramedia, 2018.
Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial, Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia, Makassar: Cara Baca, 2021.